-->

News Info

Sandal Jepit Istriku



Selera makanku mendadak punah. Hanya rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh... betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop ini manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin gak ketulungan.

"Ummi.. ummi.., kapan kau dapat memasak dengan benar? Selalu saja, kalau tak kemanisan,, keasinan, kalau tak kepedasan ya keaseman!" Aku tak bisa menahan emosi untuk menggerutu.
"Sabar bi..., Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul?" Ucap istriku dengan tenang. "Iya..., tapi kan abi manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus-menerus seperti ini!" Jawabku dengan nada tinggi.
Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat istriku menundukan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak.

Sepekan sudah aku keluar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan 'baiti jannati' di rumahku. Namun apa yang terjadi, kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya seperti kapal burak, Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana-sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur. dan cucian berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuk yang menyengat, karena berhari-hari direndam deterjen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma beristighfar sambil mengelus dada.
"Ummi.. ummi.. bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus-menerus seperti ini?" Ucapku sambil mengeleng-geleng kepala.

"Ummi.. istri solihat itu tak hanya pandai mengisi pengajian, tapi ia juga harus pandai mengurus tetek-bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah." Belum sempat habis kata-kataku sudah terdengar ledakan tangis istriku yang kelihatan begitu pilu. "Ah.. wanita gamoang sekali untuk menangis." Batinku berkata dalam hati. "Sudah diam mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi istri salihat? Istri salihat itu tidak cengeng." Bujukku hati-hati setelah melihat ia menangis. "Gimana gak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. rumah ini berantakan karena memang ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja, untuk jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sekali." Ucap istriku diselingi isak tangis. "Abi gak ngerasain sih gimana maboknya hamil muda." Ucap istriku lagi, sementara kulihat air matanya tetap merebak.

"Bi.. siang nanti antar ummi ngaji ya?" Pinta istriku. "Aduh mi.. abi kan sibuk sekali hari ini, berangkat sendiri saja ya?" Ucapku. "Ya sudah.. kalau abi sibuk, ummi mau naik bus umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan." Jawab istriku. "Loh, kok bilang gitu?" Selaku. "Iya, dalam kondisi seperti ini kepala ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin, apalagi sambil berdesak-desakan dalam bus dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak terjadi apa-apa." Jawab istriku lagi. "Ya sudah naik bajaj saja." Jawabku ringan.

Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. “Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu,” aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh.

“Oh….bukankah ini sandal jepit isteriku?” tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus. “Maafkan aku Maryam,” pinta hatiku. “Krek…,” suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaya gelap dan berjilbab hitam melintas.

"Ini dia mujahidahku!" Pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperharhatikan istri. Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah kubelikan sepotong baju untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan istriku, padahal dibalik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sementara istriku tak pernah kuurus. Padahal Rasul telah berkata: “Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” Sedang aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku…? terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!! “Maryam…!” panggilku, ketika tubuh berbaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. “Abi…!” bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini. “Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?” sesal hatiku.

Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. “Alhamdulillah, jazakallahu…,”ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan ‘iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku…? Semoga berguna bagi kita semua….amin ya rabbal alamin……

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Buat para mujahid dakwah..renungkanlah kisah sandal jepit ini,dan tanyalah hati kita sejauh mana perhatian kita terhadap sosok makhluk bernama istri di tengah-tengah kesibukan kita…




Sumber: Cerita Motivasi & Inspirasi

0 Response to "Sandal Jepit Istriku"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel